MISI PENDIDIKAN SPIRITUAL KENABIAN MUHAMMAD SAW

MISI PENDIDIKAN SPIRITUAL KENABIAN MUHAMMAD SAW

(Analisis Ikhtiar Membentuk Karakter Anak Bangsa

Dengan Pendekatan Hikmah)

Oleh: Dr. H. Syarif, S.Ag.MA

Dasar Pikir

Pendidikan saat ini ditempatkan di garda depan untuk upaya menanamkan nilai atau memperkenalkan sederet uraian epistemic pada satu tujuan tertentu dari satu visi dan misi yang diinginkan atau ditujukan pada suatu objek sekaligus subyek tertentu. Kalau kita menilik semua tujuan dari semua materi ajar dalam suatau proses pendidikan, dapat kita simpulkan bahwa tujuannya adalah untuk menwujudkan suatu perubahan dari sauatu kondisi yang dinilai belum atau tidak baik menjadi lebih baik. Tetapi tilikan lebih dalam dan lebih jujur menarik kita pada suatu fakta bahwa semua jenis pendidikan saat ini mengedepankan upaya “mengadaptasikan” peserta didik kepada social dan dunia kerjanya.

Di kalangan pendidikan yang dinisbatkan kepada keagamaan dalam hal ini ke-islam-an, juga susah untuk dikecualikan dari pernyataan di atas oleh karena, yang kita temukan bahwa pendidikan ke-Islam-an pun, sekalipun menginformasikan terma-terma keagamaan, tidak lebih dari sekedar pengenalan terminology lughawi yang sifatnya epistemic literalistic. Maka yang dikenal oleh peserta didik adalah cerita dari suatu nama dan tidak sampai kepada ontology dari nama tersebut. Lebih lagi jika kita harus menilik bentuk pendidikan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di masa kenabiannya. Pendidikan yang diakui keberhasilannya itu, sangat langka tatacaranya kita temukan saat ini. Bahkan kondisi proses pendidikan saat ini sangat jarang ditemukan dalam konsepnya secara komprehensif “mengadaptasikan” prosesnya dengan visi, miisi, dan cara-cara atau model yang dibawakan oleh Nabi Muhammad.

Pendidikan hari ini mengharuskan kita berbicara manusia dengan segala persoalannya. Karena pendidikan selalu diklaimkan sebagai garda terdepan dalam harapan sebagai wadah perbaikan manusia. Tetapi kita kurang menyadari bahwa masalah-masalah hari ini justru timbul oleh dan di kalangan orang-orang terdidik. Ini sengaja penulis kemukakan supaya kita punya ghirah untuk melakukan self correction tentang proses pendidikan yang kita lakukan. Terutama pendidikan yang dinisbatkan kepada Isalm.

Oleh karena itu, saat ini yang penulis pandang sangat relevan jika mau bertanya “sejauh mana pendidikan yang kita lakukan hari ini telah sesuai dengan misi dibangkitkannya Muhammad saw”. Makalah ini penulis susun dengan pendekatan “hikmah” yang sifatnya non scientic yang epistemic literalistic

Sekilas Mengenal Pendekatan Hikmah

Hikmah sering diartikan dalam banyak literature sebagai “kebijaksanaan” atau yang sering disebut orang dengan “wisdom”. Maka jika ada kata “al-hakîm” misalnya dalam teks Alquran, biasanya diartikan sebagai “Maha Bijaksana”, karena kata itu melekat kepada penyebutan Tuhan. Ada juga yang mengaitkan dengan inti filsafat, karena dengan belajar berfikir mendalam seperti yang dirajut oleh kerangka filsafat, seseorang dapat menjadi bijaksana. Jika diartikan demikian, maka ilmu hikmah artinya ilmu tentang kebijaksanaan. Itu artinya, justru arti hikmah menjadi abstrak oleh karena, tidak jelas seperti apa kebijaksanaan yang dimaksud. Sebab, pada kenyataannya kebijaksanaan itu lazimnya akan terkait dengan siapa yang mengeluarkannya dan dikeluarkan untuk siapa, serta di mana dikeluarkannya.

            Tilisan ini dimaksudkan untuk menilik kata “hikmah” seperti yang kabarkan oleh 

Qur`an melalui rekaman kalamnya yaitu teks-teks Alquran. Ada beberapa fenomena teks terkait dengan terma “al-hikmah” ini, diantaranya: Pertama, bahwa kata “al-hikmah” ini selalu bergandengn dengan kata “alkitâb”. Seolah penyebutan kata “al-hikmah” ini menerangkan, bahwa jika ingin memahaminya mesti mengerti dulu apa makna dari kata “al-kitâb”. Pada paragrap lain penulis akan suguhkan makna kata al-kitâb secara tersendiri. 

Kedua, bahwa kata “al-hikmah dan al-kitâb” terkait dengan seorang Rasul. Artinya “al-hikmah” itu yang mengajarkannya kepada orang-orang yang dikehendaki adalah seorang Rasul dalam arti, “al-hikmah” itu tidak didapat dari pengajran biasa yang dilakukan oleh manusia biasa. Sayangnya kebanyakan orang telah terdoktrin dalam pengetahuan dan keyakinan bahwa Rasul itu telah mati. Sebab, kebanyakan ulama yang menyampaikan pengajaran dimaksud tidak membedakan antara Nabi Muhammad yang fisikly dan Muhammad Rasulullah saw yang non fisik sebagai batinnya. Pembedaan antara kedua istilah itu hanya terdapat secara epistemology, bahwa Nabi itu ialah seorang yang mendapat wahyu tetapi tidak wajib menyampaikan kepada orang lain, sedangkan rasul adalah seorang yang mendapat wahyu dan wajib menyampaikan kepada orang lain. Padahal kata “al-nabî” adalah secara lughawi berarti seorang yang membawa berita kepada orang lain. Tidaklah disebut “nabî” jika seorang itu tidak membawa berita dan menyampaikannya kepada orang lain. Jadi, definisi “al-nabî” seperti di atas sebenarnya bertentangan dengan makna kata “al-nabî” itu sendiri.

Ketika “nabî dan Rasûl” dalam arti sedemikian saja, maka Muhammad saw hanya berarti satu ontology saja. Padahal sesungguhnya Nabi Muhammad itu artinya jasad yang berbangsa Arab itu menyampaikan berita dari Muhammad saw yang berada di dalam jasad sang nabi itu. Artinya Muhammad saw itu adalah sisi batinnya Muhammad yang Nabi. Maksudnya ialah Muhammad yang Nabi itu jasadȋ dan Muhammad saw yang Rasulullah itu adalah yang non jasadȋ. Pada manusia biasa sperti kita, yang lahiriah adalah jasad ini sedang yang batin adalah ruh. Tetapi yang batin pada dan di dalam Nabi Muhammad yang jasadȋ itu bukan ruh tetapi Nûr Allah, yang ianya menyebut dirinya sebagai “abû al-arwâh, bapaknya para ruh”. Jika pada manusia biasa dan pada para auliy` dan anbiy` ruh itu tidak mati kala meninggalkan dunia ini atau kala jasad mati, apalagi sang bapaknya ruh tentunya tidak mati.

Kepahaman dan keyakinan seperti ini yang memungkinkan penerimaan atas pemberitaan teks Alquran bahwa yang mengajar “al-hikmah” itu adalah Rasul atau Muhamma saw yang menjadi gurunya, dan itu sampai saat ini. Sebagaimana teks berikut, menunjukkan bahwa Rasul itu sedang aktif.

“Sebagaimana Kami telah mengutus seorang kepada kalian dari kalangan kalian yang sedang membacakan ayat-ayat Kami atas kamu, sedang menyucikan kamu dan sedang mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, yaitu mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.s. al-Baqarah/2:151). 

Pada keterangan teks-teks seperti dicatatkan di atas, kata-kata “yatlû, yuzakkî, dan yu’allimu” dicantumkan dalam bentuk fi’il mudlâri’, yang berarti sedang berlangsung sampai yang akan datang. Hal ini membuktikan bahwa Rasul bisa dijujmpai dan beliau tidak sedang wafat.

            Ketiga, bahwa Rasul itu sebelum mengajarkan kitab dan hikmah terlebih dahulu membacakan ayat-ayat Kami kata Tuhan, seperti dalam Q.s. al-Baqarah/2: 129, 151,  Âli ‘Imrân/2:164, al-Ahzâb/33:34, al-Jumu’ah/62:2. Membaca di sini—secara ilmu hikmah—bukan membaca tulisan yang tergores di atas lembaran kertas. Untuk menukikkan kepahaman ini harus ada penjelasan bahwa ayat dan kitab yang dimaksud di dalam seluruh teks Alquran adalah bukan di atas kertas, dan untuk itu harus ada penjelasan secara ontologis. Dari sini nanti harus disepaktai bahwa ilmu hikmah itu harus bersumber dari yang non epistemic. Bahwa ayat yang dimaksud oleh teks-teks di atas bukan di atas kertas dijelaskan dalam Q.s. al-An’ậm/6:7. 

            Keempat, bahwa kata “al-hikmah” ini berkait dengan sesuatu yang belum diketahui (مالم تكونوا تعلمون), misalnya seperti yang tuturkan di dalam Q.s. al-Baqarah/2;151,  al-Nisâ`/4;113. “Al-hikmah” adalah suatu apa yang tidak diketahui sebagai materi yang diajarkan oleh Rasul yang dimaksud dalam teks-teks tersebut adalah tentang diri, hubungan diri dengan Allah, hubungan diri dengan Muhammad saw yang non jasadȋ, dan hubungan diri dengan Baitullah. Di sinilah urgensi penempatan makna dan materi hikmah harus diajarkan oleh Rasul, sebab sesuatu yang sifatnya epistemic literalistic tidak dapat mengungkap apa wujud dan hubungan-hubungan seperti dimaksud di atas secara ontologis. 

            Mengenai tentang diri inilah yang menjadi objek pertama kali dalam kalam pertama yang keluar dari mulutnya Nabi yang harus dibaca. “bismi rabbika” itulah yang harus dibaca dalam perintah kalam pertama pada Q.s. al-‘Alaq/96:1 itu, bukan tulisan di atas kertas. Sesuatu yang dengan nama Tuhan itu terlukis dalam huruf  “ba-kasrah” itulah yang menjadi objek bacaan dalam teks itu. Sebab secara logika bahasa (mantiq lughawî), tidak mungkin ada perintah membaca kamudian tidak ada objek yang dibaca. 

Nah, tentang diri inilah yang bahkan hari ini tidak diketehui oleh pembelajaran epistemic literalistic, makanya harus Rasul yang mengajarkannya, seprti diberitakan dalam teks-teks di atas. Dia inilah yang dimaksud dalam teks ayat no 5 dari surat al-‘Alaq tersebut yaitu “ (علم الانسان مالم يعلم), ‘allama al-insâna mâ lam ya’lam, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui”.

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al-Hikmah  serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Memutus. (Q.s. 2:129)

Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari kalangan kamu yang sedang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.s. 2:151)

Dan ingatlah nikmat Allah atas kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah atas kamu berupa Kitab  dan  Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.s. 2:231)

Dianya Allah menganugrahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya hati yang terdalamlah (inti) yang dapat mengambil pelajaran.(Q.s.2:269)

çmßJÏk=yèãƒur

Dan Dianya Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil.(Q.s. 3:48)

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang seorang rasul yang membenarkan apa yang ada atas kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh percaya kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”.(Q.s. 3:81)

Sungguh Allah telah memberi anugra atas orang-orang mukmin ketika Allah mengutus pada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, yang sedang membacakan atas mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan  mereka, dan mengajari  mereka Kitab dan Hikmah. Dan sebelum (kedatangan Rasul ) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q.s.3:164)

Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.(Q.s. 4:54)

Dan Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah atas kamu, dan telah mengajarimu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.(Q.s. 4:113).

(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu kitab, hikmah, Taurat dan Injil…(Q.s. 5:110)

Dianya Allah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang sedang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajari mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,

Misi Pendidikan Spiritual Kenabian Nabi Muhamma

Sesungguhnya Muhammad saw dibangkitkan hanya dengan satu-satunya misi yang dibawanya, juga satu-satunya Nabi pada kenabiannya Muhammad saw yang membawa misi yang satu-satunya itu, yaitu “innam bu’itstu liutammima makrima al-akhlq, aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq”.  Artinya Muhammad saw dibangkitkan pada Jasad kenabiannya tidak untuk mendorong manusia menjadi kaya, pintar politik, dan mahir bersya’ir sebagai symbol majunya pemikiran manusia kala itu. Sebab ketika itu kesemua kemahiran telah wujud telah terjadi. Hanya yang tidak ada pada orang kaya, pada para pengampu kekuasaan dan pada orang-orang pintar kala itu adalah kebaikan karena kelakuan mereka buruk disebabkan akhlak mereka tidak lagi mulia. 

Sengaja penulis bedakan antara kelakuak (af’ậl) dan akhlậq oleh karena sesungguhnya akhlậq bukan af’ậl, lain tidak akhlậq itu adalah sumber perbuatan (mashdar al-af’l). Dalam makna seperti ini, maka akhlậq ini sama maknanya dengan “karakter” yang berarti pondasi atau dasar sesuatu.  Hanya saja hari ini akhlậq dikira af’ậl, oleh karena penuturan literature tidak mendapat tahu tentang sumber perbuatan itu. Padahal teks Alquran memberitkan bahwa “Allah menggenggam diri orang mati dan orang tidur…”,(Q.s. 39:42). Supaya kita mengerti bahwa jasad ini tidak dapat berbuat, tidak bisa ber-af’ậl kala diri (akhlậq) sang sumber af’ậl itu sedang digenggam Allah. Itu sebabnya Tuhan menyuruh kite untuk mengenal diri. Inilah sebenarnya misi pendidik Islam.

Sebelum masuk masuk kepada isi misi kenabian Muhammad saw, ada baiknya kita telusuri dulu Islam yang punya ajaran.Islam adalah suatu Subyek yang mengeluarkan ajaran yang kemudian dikenal dengan sebutan ajaran Islam. Ajaran Islam itu termaktub dan kumpulan kalam atau perkataan yang keluar dari lisannya Nabi Muhammad bin ‘Abdillah, berbangsa Arab, bersuku Quraisy. Kumpulan salinan kalam tersebut kemudian dinamakan Kitab Suci Alquran dan al-Hadis. Penulis tidak meletakkan perbedaan yang tajam antar keduanya, terutama Hadis yang bersifat kalâm oleh karena, kedua kategori tersbut keluar dari lisan yang satu. Kecuali yang bersifat af’âl[1] dan taqrîr[2]. Karena af’âl dan taqrîr itu tidak dikalamkan, melainkan diceritakan oleh orang-orang yang melihat prbuatan Nabi Muhammad. 

            Jika pengertian Islam yang seperti ini bisa disepakati, maka subjek yang penulis maksud ialah Qur`an yang bukan kalam dan tulisan. Penjelasan terhadap hal ini ialah, ketika Qur`an itu menjadi dapat didengar ia bernama Alquran yaitu Qur`an yang nyata (ma’rifat) berbentuk kalam. Ketika kalam itu ditulis maka ia bernama Kitab al-Qur`an. Sesungguhnya Kitab Alquran itu adalah bentuk nyata dari ajaran Islam yang Qur`an itu. Ini sebabnya di dalam keteranga pada Kitab Alquran tidak pernah disebut istilah kitâb Alquran (كتاب القرآن), tertapi tersbut terpisah secara parsial. Juga kata kitâbtersebut secara terpisah (الكتاب) dan tidak bermakna al-Qur`an.  

            Tulisan ini akan menguak satu dari sekian banyak item ajaran Islam yang termaktub di dalam Kitab al-Qur`an. Satu item itu ialah manusia yang di dalam bahasa Alquran tersebut al-insân atau al-nâs (الانسان/الناس). Istilah manusia/al-insân penulis posisikan sebagai tempat hinggapnya karakter (akhlậq) atau bahkan sebagai bagian dari karakter manusia – dalam pengertian manusia bukan pada term al-insân atau al-nâs

            Ketika perbincangan mengarah kepada satu istilah yang dinamakan “karakter/akhlậq”, tidak bisa secara konkrit didefinisikan jika kata “karakter” itu sebagai ontologinya. Karena sebenarnya term “karakter/akhlậq” bukan ontologi melainkan akar dari munculnya efistemologi. Karakter adalah sifat atau substansi yang melekat pada ontologi yang penulis sebut manusia. Term “karakter” akan memunculkan teori-teori tentang uapaya memahami term itu. Tetapi pasti akan bias jika efistemologi itu disusun dari sesuatu yang ontologinya tidak jelas. Oleh karena itu penulis bermaksud menentukan ontologi yang melekat pada term “karakter/akhlậq itu”. Katika term “karakter” itu berpasangan dengan kata “manusia” maka karakter itu menjadi sifat atau suatu subsatnasi, maka yang sebagai ontologinya adalah manusia itu. Artinya penyusunan efistemologi tentang “karakter” memungkinkan jika lebih dahulu dikemukakan kupasan “manusia” sebagai ontologi secara tepat dan argumentatif.

            Dengan begitu menjadi signifikan alasan penulis, pada tulisan ini, untuk menunjuk secara tepat apa itu karakter sebagai akhlậq bukan af’ậl, harus dikemukakan apa dan siapa itu manusia. Tulisan ini dengan judulnya di atas telah mengerucutkan pembahsan yaitu pada akhlậk/karakter yang sedang berada di dalam manusia menurut konsep Islam. Setelah itu akan dipaparkan bagaimana posisi pendidikan oleh Muhammad dalam konsep itu. Untuk itu semua ajaran Islam penulis tempatkan sebagai bagunan argumentasi yang permanen.

            Sebagai mana latar belakang di atas, ketika kita mengalami dan memperhatikan semua persoalan yang ada dan terjadi di depan kita, mestinya yang harus muncul sikap, bukan sekedar memperhatikan kejadian atau fakta itu. Melainkan harusnya memperhatikan mengapa fakta itu bisa terjadi. Tidak lain sesungguhnya, dalam perspektif ajaran Islam, menusia itulah sebagai sumber mengapa fakta-fakta itu mencuat. Manusia itulah ontologinya yang harus mendapat perhatian. Sayangnya ketika kita menyebut istilah manusia, maka yang ada pada benak kebanyakan kita tidak mengarah kepada bahwa manusia itu sebagai substansi tetapi sebagai fisik.

            Sesungguhnya dalam bahasa Kitab Alquran manusia yang fisik itu muncul dengan istilah basyar (بشرٌ). Ada beberapa istilah yang muncul dalam Alquran untuk menunjuk manusai secara utuh lahair batin, fisik dan non fisik, yaitu basyar, insân/nâs, mu’min, muhsin, dan muttaqîn. Istilah ini dapat dikategorikan dua.  Pertama, kategori fisik ialah basyar dan insân. Sebenarnya insân bukan fisik tetapi dia muncul sangat erat kaitannya dengan basyar yang fisik. Basyar yang fisik itulah yang memunculkan insân/manusia sebagai sifatyang natinya disebut sebagai substansi kiri. Kedua, kategori non fisik ialah mukmin sebagai fithrah dasar yang menjadi modal utama munculnya ihsân dan taqwâ. Kategori kedua ini nanti penulis letakkan sebagai bagian utama dan terpenting dalam pembangunan karakter/akhlậq dalam konsep pendidikan ke-Islam-man. Karena sesungguhnya mukmin inilah wujud nyatanya akhlậq.

            Kembali kepada bahwa manusia sebagai substansi sumber masalah, atau sebut saja–perspektif keteranga-keterangan ayat. Manusia itulah sebagai ejawantah karakter yang terbajak dalam mewakili term al-insân atau al-nâs. Perbincangan manusia sebagai non fisik tetapi begitupun sangat erat dengan yang fisik merupakan kategori pertama di atas. Alquran sebagai keterangan menjelaskan dan menunjuk kata alinsân atau al-nâs untuk menggambarkan suatu yang inheren sebagai subsatansi keingkaran, kufr, atau sebut saja sebagai substansi kiri –kiri dan kanan hanya sebagai simbol sebab nanti manusia itu bukan sisi yang berada di kiri dan di kanan oleh karena ia bukan dua eksistensi. Tidak kurang dari 159 keterangan teks ayat-ayatnya mencantukman term al-insâ/al-nâs sebagai mencerminkan nafs ammârah dan nafs lawwâmah[3]. Bentuk konkrit dari dua nafs itu seperti sifat melampaui batas karena manusia cenderung merasa cukup dengan apa yang ada pada mereka terutama pengetahuannya.[4]

            Manusia sebagai perilaku keluh kesah yang pendek asa. Jika menghadapi situasi yang tidak menguntungkan manusia cenderung mengeluh dan jika sedang pada posisi yang baik cenderung kikir.[5] Yang seperti itu terjadi oleh karena manusia itu enggan bersyukur[6], maka manusia disebut substansi yang sangat ingkar kepada Tuhannya.[7] Itu terjadi karena seseorang telah tidak lagi dalam fitrahnya[8] tetapi dalam kezhaliman[9] dan kebodohan.[10] Maka puncak dari penggambaran manusia sebagai substansi keingkaran atau substansi kiri seseorang itu, yang digambarkan tidak kurang dari 159 keterangan ayat itu, ialah bahwa manusia (si pelaku kufr) itu tidak akan menjadi baik (beriman kepada Tuhan) baik diberi peringatan maupun tidak sama sekali.[11] Bahkan walaupun dipaksa tidak mau menjadi mukmin.[12]

            Jadi pembicaraan tentang “karakter/akhlậq” yang melekat pada term “manusia/insân” berarti berbincang tentang satu eksistensi yaitu diri yang terbajak pada seseorang itu ialah sisi negatif yaitu manusia dalam arti yang non fisik. Dia adalah representasi dari perilaku keingkaran kepada Tuhan (kufr) dan tidak pernah ada pada sisi positif (îmân). Maka, apabila pembicaraan menyentuh pembangunan “karakter” yang dimaksudkan dalam bingkai bangsa yang berbudi, bermartabat, dan berharga diri yang sarat dengan nilai pekerti, maka artinya pembicaraan itu harus mengarah kepada substansi yang berseberangan secara deametral dengan manusia atau substansi kiri, kufr, dan negatif terseubt. Bagaimana solusi Islam dengan ajarannya yang termaktub dalam Kitab Alquran terhadap menemukan posisi kanan dari karakter/akhlaq yang terbajak itu, menjadi kupasan yang niscaya harus tampil dalam tulisan ini.

            Sebelum memasuki solusi, kembali penulis pertegas di sini, bahwa manusia dalam arti non fisik dan kufr seperti di atas itulah sesbenar sumber dari segala bentuk persoalan yang menjadi fakta hari ini. Ada kriteria batin yang tidak terpenuhi dalam peraktik hidup hari ini. Maka muncul keterjerembaban harga diri, perilaku menyimpang yang merugikan banyak orang, kehilangan orientasi hidup dan kerja, pupusnya penghargaan terhadap harga seorang manusia, muncul perilaku individualistik, dan materialistik.

            Sekiranya kita bisa jujur, maka solusi atas akar segala persoalan seperti digambarkan di atas hanyalah ajaran Islam yang hakikat, bukan yang dalam perspektif manusia. Islam memulai ajarannya dengan pertama, ‘agar setiap diri membaca catatan dirinya yang tergores di dadanya dan menjadi penilai atas dirinya sendiri. Catatan itu disebut kitâb dalam “iqra` kitâbaka kafâ binafsika al-yauma ‘alaika hasiîbâ.[13] Pada tingkat ini kita harus membaca diri, yakni semua laku yang telah aktual, terutama yang negatif untuk kita persembahkan dan untuk dimintakan ampunan dari Tuhan, sebelum menghadap-Nya. Itu sebabnya, keterangan ayat yang pertama kali keluar (kalam pertama) sebagai mengawalai ajaran Islam adalah surah al-‘Alaq/96: 1-5. Pada keterangan ayat tersebut sesungguhnya yang menjadi objek dalam logika bahasa perintah membaca di dalamnya (إقرأ) adalah “diri sejati” yang di dalam insân pada ayat 1 dan 2 tersebut.

            Kedua, ajaran supaya membangun intensitas koneksi dengan Tuhan sebagai asal diri. Koneksifitas itu kemudian disebut shalât, yaitu hubungan hamba yang di dalam hati (عبدي في القلب المؤمن) yang bertumpu pada mengingat-Nya.[14]Untuk tahap ini seseorang harus mengetahui posisi dirinya sebagai subyek yang bisa berhubungan dengan Tuhan. Posisi dimaksud ialah sebagai mukmin. Mukmin ialah diri yang aktif telah mengerti dirinya sebagai kepercayaan Tuhan di dalam diri (ȋmn) dan menggunakannya untuk mi’raj.[15] Iman ialah diri yang telah kembali menjadi seperti semula sebagai cahaya, dia adalah kitab yang dimaksud di atas, dan dia itulah rûh.[16] Artinya bukan rûh yang sedang terkontaminasi oleh kezhaliman. Karena rûh yang terkontaminasi itu disebut manusia sebagai substansi kekufuran, sejenis hawa, nafsu, dunia, setan di dalam diri. Iman yang berposisi cahaya inilah sebagai instrumen Tuhan untuk menunjuki hambanya kembali ke asalnya, shirâth al-mustqîm[17] sebagai Yang Maha Cahaya.[18]

            Shalât dalam pembahasan pada paragraf ini belum berbicara tentang rukun tiga belas, tetapi masih merupakan koneksi batin yang menjadi syarat mutlak bernilainya penegakan shalât yang berukun tiga belas itu. Shalat adalah tangga naik menuju Tuhan, mi’râju al-mu’minîn. Artinya iman yang telah kembali menjadi cahaya itu tangga tertinggi karena dia yang sampai kepada Tuhan sebagai hamba di dalam hati.[19]

            Adapun tangga sebelum iman itu ialah Islam sebagai sefat pada Muhammad saw., yaitu shiddîqamânahtablîgh, dan fathanah, yang dapat diartikan sebagai yang selalu jujur membenarkan, karena ia sebagai kepercayaan Allah di dalam dada, menyampaikan kapada dirinya yang tercatat didalam dada apa-apa yang diperbuat, dilihat, dan dialami, maka saat itulah dia menjadi diri yang cerdas bijaksana karena dapat mengerti yang tidak baik dan yang baik pada dirinya. Artinya sebelum diri dapat menggapai derajat cahaya maka seseorang harus ber-Islam yaitu menjalankan Islam yang berupa sifat pada Muhammad saw yang merupakan inti dan tujuan semua isi ajaran Muhammad saw baik yang termaktub di dalam kitab Alquran maupun hadis. Tidak ada tujuan pengajaran yang lebih tinggi dari terejawantahnya sifat Muhammat saw itu. Oleh karena sifat itu melekat pada Muhammad saw maka sifat itulah sesungguhnya Islam yang mengajarkan. Dan oleh karena itu ia menjadi inti dari semua ajaran Islam, maka Islam itulah Qur`an.

            Bagaimana bisa sifat Muhammad saw ada pada setiap diri? Jika kita telusuri dari awal tadi, bahwa mukmin itu cahaya dari Muhammad saw[20] maka tentu pada mukmin itu terdapat sifat Muhammad Yang Maha Cahaya itu. Maka sesungguhnya Mukmin itu adalah jejak atau sunnah Muhammad, oleh karenanya perilaku sunnah yang sesungguhnya adalah mewujudkan sifat Muhammad saw tidak mengarah kepada jejak yang fisik, sebab yang fisik tidak menjadi ukuran.[21]

            Berikutnya, tangga sebelum Islam yaitu Tauhîd, ialah keesaan Allah nyata pada Muhammad, hakikat pada mukmin.[22] Esa tidak satu tetapi tunggal yang menunjukkah menyatunya Dzat dan Sifatnya. Bertauhidnya mukmin hanya sampai pada Muhammad terjadi di maqam tauhîd. Bertauhîd artinya menyatukan diri dengan asal secara hakikat yang ditetapkan secara ingatan—non fisik, di tempat kesatuan itu. Bertauhîid ini menjadi syarat tercapainya perilaku sifat Muhammad pada Mukmin. Perilaku sifat Muhammad itu adalah perilaku terjaganya hati dari penyakitnya yaitu manusia sebagai substansi kufr. Di maqam tauhîd ini Allah memisahkan manusia sebagai substansi ingkar dengan hati.[23] Tempat atau maqam tauhîd yang dimaksud tempat berkumpul dan kembalinya mukmin[24] dan di sana dicabut penyakit hati di dalam dada. Jika penyakit hati ini tercabut maka dapatlah si mukmin mewujudkan sifat Muhammad pada perilakunya keseharian. Kesatuan itu adalah meliputi Dzat terhadap  Sifat  (sifat ialah Nûl Allah yang tersandang oleh Muhammad yang non fisik) dan sebaliknya. Inilah inti ma’rifat sebagai tangga sebelum tauhîd

            Mukmin sebagai cahaya yang dapat berhubungan atau berkoneksi dengan Tuhan, oleh sebab itu yang shalat itu adalah mukmin[25] bukan manusia. Si mukminlah yang dapat khusyu’ dalam shalatnya. Karena khusyû’ itu bukan definisi, tetapi hadirnya isi hati di tempat yang di tentukan yakni maqâm tauhîd seperti di atas, yaitu Baitullah. Tempat kesatuan secara hakikat adalah baitullah, di mana yang dapat melakukannya hanya yang mendekati sifat Tuhan dan tempat yang berdimensi caya itu. Jika di dalam shalat hati tidak hadir di tempat itu secara hakikat, maka shalat tersbut dianggap bersiul-siul dan bertepuk tangan, dan terancam adzab bahkan jatuhnya hukum kufr.[26]

            Ketiga, menunaikan zakat di dalam shalat, yaitu menyatkan kepasrahan diri kepada Tuhan untuk disucikan di tempat yang yang ditentukan.[27] Kepasrahan diri di tempat itu sebagai ketentuan tempat persembahan yaitu di tempat yang tidak mensyarikati Allah SWT.[28] Maka ketika di tempat itu si mukmin kembali hendaknya dapat memelihara diri, caranya tidak menjadi diri yang musyrik yaitu orang yang memecah belah agama mereka menjadi berkelompok-kelompok, dan setia golongan bangga dengan kelompoknya.[29] Memecah belah agama itu artinya mencbik-cabik diri menjadi bekeping-keping yang bentuk adalah sifat-sifat negatif yang bersumber dari hawa, nafsu, dunia, setan. Diri yang satu dari Tuhan[30] itu terbelah menjadi karakter yang multi dalam kezhaliman menyata pada bentuk segala jenis penyakit hati.

            Keempat, mengikut Rasul. Esensi beragama ialah mengikut Rasul. Karena yang membawa petunjuk itu adalah Rasul.[31] Rasul itulah yang membacakan ayat-ayat Tuhan di dalam dada[32] sebagai ‘ilmu fi al-shudûr.[33] Rasul yang menunjuki bahwa ayat itu adalah kitab, mukmin, dan cahaya.[34] Rasul yang membersihkan si mukmin dengan mengajarkan kitab dan ilmu hikmah[35], yaitu yang ilmu tidak kamu ketahui.[36] Sebagai esensi beragama, dengan mengikut Rasul[37] sama dengan mengikut Allah.[38] Sedangkan yang diikut dari Rasul itu adalah haluannya yaitu ia mengembalikan hakikat agama yang hilang[39] yaitu pengetahuan tentang kiblat, adalah baitullah.[40]

            Pada apa yang penulis kemukan pada bagian solusi dari akar semua persoalan hidup sebagai fakta hari ini pada bagian-bagian akhir sebelum ini di atas, adalah substansi diri yang disebut mukmin sebagai instrumen tersambungnya diri dengan Tuhan. Sedang ketersambungan diri dengan Tuhan itu adalah  mutlak harus diketahui dan dilakukan sebagai satu-satunya jalan untuk mengatasi akar dari semua masalah yang ada ini. Artinya tanpa diketahui diri yang menjadi akar persoalan itu, serta tidak diketahui di mana dan siapa yang bisa menyelesaikan itu, maka artinya akar itu tidak tercabut, dan arti berikutnya masalah tak akan pernah ada solusinya. Itulah substansi yang harus dikenali sebagai karakter permanen berupa si mukmin dan si kafir.[41]

Pendidikan ke-Islam-am Berbasis Hikmah 

Sebelum lebih jauh berlanjut, penulis terlebih dahulu ingin mengklarifikasi penggunaan istilah Pendidikan Islam dalam tulisan ini. Istilah Pendidikan Islam berkonotasi suatu proses melakukan pendidikan untuk Islam, sebagaimana istilah Pendidikan Anak artinya suatu proses pendidikan yang diperuntukkan untuk anak. Oleh karena itu, sesungguhnya penggunaan istilah Pendidikan Islam tidak tepat. Sebab Islam dari sisi referensi etika ilmiah Islam berarti sesuatu yang menjadi sumber ajaran atau yang mengajarkan. Dari pemahaman ini maka sesungguhnya Islam itu ialah Subyek atau suatu yang aktif mengajarkan. Ajaran yang dimaksud ialah semua yang termaktub dalam Kitab Alquran dan Sabda Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan Hadis. 

            Untuk klarifikasi ini, maka tulisan ini sengaja menggunakan istilah Pendidikan Ke-Islam-an, di mana dapat diartikan dengan pendidikan yang materi-materinya bersumber dari ajaran Islam yakni kitab Alquran dan Hadis. Pendidikan ke-Islam-an ialah suatu proses transformatif yang mengupayakan internalisasi hakikat (tujuan dalam mendirikan agama) yang diajarkan Islam dalam bentuk ikrar dan amal si anak didik. 

            Jika coba flashback kepada dibangkitkannya Muhammad saw, sesungguhnya ontologi pendidikan yang ditunjukkannya adalah perubahan apa yang “di dalan diri” si anak didik. Bahwa Tuhan tidak mengubah kondisi suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada di dalam diri mereka.[42] Oleh karena itu beberapa teori yang dikemukakan oleh banyak pakar pendidikan sepertinya tidak menukik pada ontologi yang sesungguhnya.[43] Membaca definisi-definisi tersbut membuat tidak bisa diterapkan teori yang mana yang harus diacu, oleh karena semua definisi itu menunjukkan bahwa pada pakar itu tidak sepakat atau berbeda-beda.

            Masuk kepada bagaimana Islam men-sasar objek pengajarannya, sesungguhnya harus dikembalikan ke kondisi di mana awal mula Muhammad dibangkitkan dan apa misinya. Beberapa fakta Quraisyiyah ketika itu ialah pertama, dari sisi pengetahuan mereka sangat mapan, di mana digambarkan dengan tinginya hasil karya satra mereka sebagai buah dari perenungan dan kreatifitas berfikir mareka. Kedua, dari sisi ekonomi, Arab ketika itu telah berada dalam kemajuan yang mapan. Bertepatan kota Makkah ketika itu menjadi kota dan pusat lalulintas perdagangan. Terbukti Muhammad saw tidak pernah membuat mata uang sendiri tetapi menggunakan mata uang ayang ada. Dan ketiga, dari sisi sosial politik orang Arab katika itu pun telah mapan dan telah ada starata sosial politik. Buktinya, muncuk Bani Hasyim sebagai kelompok sosial yang terbaik dan telah ada pemimpin di kalangan mereka.

            Artinya, misi utama pengajaran Muhammad saw bukan untuk meng-inspire kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan sosial politik secara lahiriah oleh karena, tanpa dibangkitkannya Muhammad saw pun, semua itu bisa terdorong dan tertata dengan sendirinya, terutama yang bersifat lahiriah. Yang tidak ada saat itu ialah kebaikannya. Tidak ada keadaban dalam semua peraktik yang sedang mapan ketika itu. Kemapanan pengetahuan, ekonomi, sosial politik tidak untuk menghargai eksistensi diri bagi manusia, tetapi justru dijadikan alat untuk menindas dan merendahkan yang lain. Dalam hal ini perempuan yang paling menjadi korban.

            Oleh karena itu, satu-satunya Nabi yang mencetuskan misi pengajarannya untuk memualiakan akhlậq dan budi[44] adalah Muhammad saw. Tidak berarti ajaran Islam anti yang selain akhlậq dan budi. Tetapi ada perioritas, ada target yang sangat jelas dan sangat logis serta sangat kondisional. Dari sini muncul dalam sejarah keluarnya keterangan-keterangan ayat-ayat yang kini termaktub dalam kitab suci Alquran, bahwa 13 tahun pengajaran Muhammad saw mengenai iman. Jika iman ini seperti pemaparan di atas, maka yang diutamakan ialah perubahan diri, karena diri itulah iman sebagai substansi yang berhakikat hakikat yang mukmin yang mempunyai sifat rabbaniyyah.

            Di sini masuknya konsep pendidikan ke-Islam-an berbasis hikmah oleh karena pengajaran hikmah di antaranya mengubah diri dengan mengenalkan diri itu sendiri dan sumbernya serta di mana tempat keduanya bisa berhubungan. Sekali lagi tidak untuk menapikan pengetahuan lahiriah, oleh karena kemajuan lahiriah jika yang memanfaatkan kemajuan tersebut tidak terbina, maka seperti pada pendahuluan di atas, hanya akan membuat pengamapu keberhasilan itu dalam kegersangan. Kegersangan itu mewujud pada tidak adanya penghargaan kepada eksistensi kemanusiaan, maka timbul perilaku individualistik, seperti perilaku koruptif, premordialistik, sekterianistik, dan seterusnya. Itu semua bisa menjadi fakta seperti hari ini oleh karena ukuran suatu eksistensi kemualiaan terjebak pada pola lahiriah, materialiastik.

            Maka oleh karena itu, pendidikan atau transformasi nilai-nilai ajaran Islam dalam pendidikan ke-Islam-an, ditunjukan kepada beberapa item seperti berikut: pertama, Tujuan hidup diri bagi manusia (tidak yang substansi kufr). Bahwa diri bagi manusia itu sebagai pancaran ilahi dan harus kembali kepada Tuhan. Esesnsi diri bukan lahiriah, tetapi inti dari kehidupan diri untuk menampilkan sifat-sifat ketuhanan. Tujuan ini mengharuskan pengajran dengan materi ketuhanan yang mencakup Iman, Islam, Tauhid, dan Ma’rifat (bukan definisi secara epistemic literalistic). Cakupan ini dimulai dari pengenalan siapa diri[45], apa asalnya[46], di mana[47] keduanya bisa berhubunga, dan untuk apa perlunya keduanya harus berhubungan.[48] Tentunya sistem dan tahapan pengajaran merupakan suatu yang include dan harus menjadi pengetahuan pendamping utama dalam melakukan pengajaran. Memahami esensi diri ini pada hakikatnya sebagai jalan dari tujuan hidup yang pokok yaitu kembali ke sisi Tuhan. Tahap ini sesungguhnya tahap mengenalkan Tuhan melalui mengenalkan apa yang dari Tuhan.[49]

            Kedua, etika sosial. Pada tahap ini dimulai dari yang terdekat ialah kedua orang tua, kemudian khalayak sosial.[50] Pada bagian ini harus diajarkan tentang bahwa harga satu diri bagi manusia sama dengan seluruh manusia.[51] Untuk itu penunjang utamanya ialah bahwa manusia ialah umat yang satu[52] yaitu berasal dari satu Tuhan dan tampat kejadian yang satu.

            Ketiga, mendirikan shalat. Tahap ini sesungguhnya adalah tahap paling utama dari yang utama setelah mengenal diri dan Tuhan oleh karena, shalat adalah bagian peraktis untuk terjaganya diri dari berbuat menyimpang. Shalat[53]adalah bentuk intensitas komunikasi diri dengan Tuhan untuk tidak menjadi diri dalam substansi kufr.[54] Komunikasi dengan Tuhan di tempat yang ditentukan ini sebagai alasan Tuhan mengintervensi sehingga hati menjadi terjaga.[55]

Penutup

            Di dalam proses tranformasi nilai agama yang paling penting dipertanyakan ialah untuk apa proses itu dilakukan. Apa hubungan proses itu dengan pembinaan akhlak budi. Jika tidak ada korelasi positif maka tidak ada faedahnya dilakukan proses itu. Oleh karena itu penggalian terhadap suatu yang paling dasar dari proses tranformatif itu ialah ontologi yang jelas. Pendidikan ke-Islam-an hendaknya mentransformasi inti ajaran Islam secara tepat, sehingga menjadi ejawaqntah misi pendidikan spiritual Muhammad. Untuk itu harus menjadi acuan dasar bahwa Muhammad saw tidak diutus untuk mencetak ekomom, politisi, dan saintis. Tetapi Muhammad saw memposisikan diri sebagai characterbuilder, untuk memuliakan sumber perangai manusia, akhlậq namanya.

            Untuk ini semua, harus disepakati bahwa, hasil oleh piker manusia yang disebut scient dan teknologi tidak dapat intervensi terhadap agama. Karena agama bukan teori yang sifatnya epistemic literalistic. Tetapi agama itu suatu eksistensi sebagai subyek yang berasal dari wujud di sisi Allah. Oleh karena itu segala persoalan yang menyangkut manusia hari ini tidak dapat diselesaikan dengan apapun bentuk yang dikarang manusai. Lain dan tidak, hanya Muhammad (non fisik) yang dapat menyelesaikan, bahkan nabi-nabi seklainnya tidak dapat menyelesaikan, apalgi di akhir zaman ini. Konflik yang terjadi antara diri yang berasal dari sisi Allah dan diri yang berasal dari saripati tanah terjadi di dalam dada itu, harus dicarikan penyelesaiannya dari yang bersumber pada Muhammad. Karena rahasia Muhammad lah yang memegang rahasianya. Itulah tujuan dan materi misi dari pendidikan oleh Muhammad.


[1] Hadis atau keterangan atau cerita yang menceritakan perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad.

[2] Hadis atau keterangan atau cerita yeng isinya tentang hal yang dianggap disetujui dan menjadi ketetapan sedang ia bukan kalâm dan af’âl. Bisanya tidak Nabi mengatakan begini dan beitu tetapi biasanya ketetapan yang disebut taqrîr itu disimpulkan oleh siapa yang melihatnya, yang sebagaian besar para sahabat. Dan khususnya taqrîr dengan begitu, seakurat apapun cerita itu tetap saja pada derajat cerita dan kesimpulan manusia biasa. Memang ada penguatan dari para pengampu ‘ulûm Alquran bahwa cerita atau hadis itu dijamin kebenarannya.

[3] Masing-masing lihat Q.s. Yûsuf/12:53 dan Q.s. al-Qiyâmat/75:2

[4] Q.s. al-‘Alaq/96:6-7. Ayat 6-7 ini pada surah ini sebagai sebab turun ayat 1-5, di mana di awal turun ayat ini perintah aga membaca yang dengan nama Tuhan Yang Mencipta. Dari segi gramatika bahasa susuan ayat ini tidak ada maf’ulnya karena setelah amr (إقرأ) langsung jaran dan majrus. Tetapi dari segi logika bahasa, tidak meungkin ada perintah kemudian tidak objeknyanya. Maka secara hikmah, objek pada ayat 1-5 ini adalah huruf ba (ب) yang mudlaf kata ism (ب). Ba (ب) itu berarti yang dengan Nama Tuhan, ianya ada pada insân (الانسان) dalam ayat kedua. Penjelasan ini nanti harus diurut dari siapa ba (ب) itu dan siapa Nama Tuhan itu, serta apa hubungan keduanya. Logika berikutnya untuk menunjuk objek itu adalah insân yang di dalamnya terdapat person dari ba (ب) itu ialah, bahwa tidak mungkin Muhammad memerintah membaca buku atau tulisan sejenis kitab-kitab tulisan manusia oleh karena Muhammad tidak menyuguhkan buku untuk dibaca di samping Muhammad tidak tahu baca tulis dan pasti tidak punya koleksi buku-buku untuk dibaca.

[5] Q.s. al-Ma’ârij/70: 19-21

[6] Q.s. al-Sajadah/32:9, al-Nahl/16:78

[7] Q.s. al-Âdiyât/100:6. Terdapat pada keterangan ayat ini kata lakanûd () berarti sangat ingkar. Terjemahan dalam bahasa ‘Arab ialah lakafûrun bini’matillah, sangat inggkar dengan nikmat Allah. Sejalan dengan pengertian itu, sesungguhnya arti dasar dari kufur itu ialah ingkar akan nikmat Allah seperti yang dimaksud Q.s. al-Sajadah/32:9, al-Nahl/16:78 di atas. Ternyata ni’mat yang dimaksud tidak seperti yang dimaksud dalam keseharian yaitu rejeki yang di dapat dalam kasap dunia, melainkan nikmat itu adalah anugrah berupa yang ditiupkan ke dalam jasat yaitu rûh, persis seperti di dalam dua keterangan ayat terakhir. Jadai sesungguhnya sifat kufur terjadi itu ialah karena seseorang tidak mengetahui apa yang dianugrahkan kepada dirinya sehingga tidak mengerti apa yang harus disyukuri. Dengan begitu manusia terus berbuat dalam substansi keingkaran itu.

[8] Fithrah yang dimaksud ialah asal penciptaan yang dengan asal penciptaan itu manusia dijadikan, fithratallaha latî  fathara al-nâsa ‘alaihâ. Jika dikaitkan dengan asal kejadian manusai yang non fisik itu ialah fithrah manusia itu bawaan yaitu cahaya sebagai pancaran Tuhan yang dengan itu bahsa Tuhan bisa masuk dan dimengerti dengannya, Q.s. al-Syûrâ/42:52. Di sana ada rasa ketuhanan yang dikenal dengan “al-dzuq al-rabbâniyyat”, itulah mukmin. Itu pulah pengertian baku diri manusia sebagai fithrah yang utuh yang diri yang tidak sedang dalam kontaminasi substansi kiri yang kekuufuran, yang sesungguhnya substansi kiri itu bisa dibahasakan dengan hawa, nafsu, dunia, setan di dalam diri. Ia itu adalah rûh yang ketika masuk ke dalam jasad (Q.s. 32:9) langsung diadaptir oleh substansi kiri tersbut, bernamalah dia al-insân atau si kufr..

[9] Teori kezhaliman ini mengantarkan kepada pengertian rahmat Tuhan yang sesungguhnya. Terdapat potongan keterangan ayat ”wamâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn, tidak kami mengutus engkau wahai nabi kecuali sebagai rahmat bagi seisi alam”. Dari sekian banyak yang pernah didefinisakan, rahmat berarti kasih sayang yang tidak konkrit, begitu pula arti dari sesisi alam. Q.s. al-Ahzâb/33:43 menunjuk pengertian rahmat berupa bahwa Muhammad mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada terang benderang (liyukhriju al-nâsa min al-zhulumât ilâ al-nûr). Sesungguhnya menusia yang dalam potongan keterangan ayat ini ialah zhulumat itu, artinya isi alam dimaksud adalah rûh yang di dalam dada. Ini oleh karena isi alam di luar dada manusia itu tidak dapat menrima apa yang dibawa Muhammad berupa petunjuk, sementara petunjuk itu adalah untuk sesisi alam (Q.s. Âli ‘Imrân/3:960

[10] Q.s. al-Ahzâb/33:72

[11] Q.s. al-Baqarah/2:6

[12] Q.s. Yȗsuf/12:103

[13] Q.s. al-Isrâ`/17:14. Membaca kitab dalam potongan ayat ini buka kitab Alquran, tidak juga kitab-kitab yang lain. Huruf kâf dalam (كتابك)  menunjuk diri bukan lembaran kertas, sebagai mana penegasan keterangan ayat lain bahwa kitab itu tidak pernah diturunkan di atas kertas (Q.s. al-An’âm/6:7). Maka kitab  seprti yang dimaksud di dalam Q.s. al-Baqarah/2:2, Yûsuf/12:1, al-Kahfi/18:2, sangat bisa difahami tidak berarti kitab Alquran, bukan karena seperti diterangkan Q.s. al-An’âm/6:7 di atas, tetapi saat keterangan ayat ini turun diucapkan Muhammad saw kitab Alquran berbentuk mushaf belum dikodifikasi, juga karena ternyata kitab yang diperintahkan untuk dibaca itu ialah ayat-ayat Tuhan di dalam dada orang-orang yang kepadanya diberikan pengetahuan atau pengajaran tentang itu (Q.s. al-‘Ankabût/29:49), bandingkan Q.s. al-Baqarah/2:151.

[14] Q.s. Thahâ/20:14, al-A’lâ/87: 14-15

[15] Dari sini muncul sebutan al-shalâtu mi’râju al-mu’minîn. Bandingkan bahwa mukmin yang cahaya itu lah yang naik menuju Tuhannya (Q.s. al-Ma’ârij/70:4)

[16] Baca: Q.s. al-Syûrâ/42:52

[17] Q.s. al-Syûrâ/42:52

[18] Istilah Maha Caya ini adalah Nûr Allah kemudian nanti bernama Muhammad (non fisik) yang darinya mukmin dijadikan yang kemudian nanti mukmin bernama nur Muhammad (bukan Muhammad), anâ nûrullâh wa al-mu`minûna minnî (hadis qudsi)

[19] ‘abdî fi al-qalb al-mu’min, hamba-Ku di dalam hati bernama mukmin.

[20] Bukan Muhammad sebagai fisik tetapi Muhammad sebagai Nûr Allah yang pernah ada dan menggerakkan fisik Muhammad bin ‘Abdillah yang fisik.

[21] Di dalam hadis pada haji wada’: ma al-farqu baina al-‘ajami wa al-‘arabi, tidak beda antara orang arab dan yang bukan Arab. Begitu pun seperti isyarat Q.s. al-Hujurât/49:13 bahwa kemuliaan itu hanya dapat diraih oleh orang yang paling bisa memelihara diri dari substansi kufr, itulah takwa.

[22] Hakikat artinya Muhammad Yang Nȗr Allaha itu sebagai tujuan. Berhakikat artinya menuju Muhammad. Al-haqȋqatu ahwậlȋ, hakikat itu hal aku. Mengapa Muhammad yang dituju, sedangkan yang disembah adalah Dzatnya Allah SWT. Sesungguhnya Allah sebagai Dzat tak tampak. Dia lam yakun lahȗ kufwan ahad, tak ada sesuatupun yang dapat serupa dengan Dia. Karena begitu, maka Dia mengadakan shifat, Nȗt wujudnya, Muhammad namanya. Ternyata yang bias kita saksikan itu adalah bukan Dzat tetapi Shifat yang Nȗr itu.

[23] Q.s. al-Anfâl/8:24. Oleh karena itu harus minta tolong kepada Tuhan Q.s. al-Baqarah/2:45

[24] Banadingkan Q.s. al-Baqarah/2:46

[25] Q.s. al-Mu’minûn/23:1-2

[26] Baca: al-Anfâl/8:35. Bahkan adzab yang dimaksud berwujud nyata sebagai neraka wil seperti digambarkan di dalam Q.s. al-Mâ’ûn: 4-5. Di sini pentingnya mengetahui enam hal ketika akan melakukan persembahan yaitu: siapa yang menyembah, siapa yang disembah, di mana tempat menyembah, kapan waktu menyembah, apa yang dipersembahkan, dan ke mana kembali sembah.

[27] Seperti yang digambarkan di dalam Q.s. Âli ‘Imrân/3;162,  sesungguhnya sembahyangku (di temmpat itu, ibadahku (di tampat itu), hidup dan matiku (di tempat itu) bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.

[28] Q.s. al-Hajj/22:26

[29] Q.s. al-Rûm/30:31-32

[30] Q.s. al-Baqarah/2:147

[31] Baca:Q.s. al-Taubah/9:33

[32] Q.s. al-Baqarah/2:151

[33] Q.s. al-‘Ankabût/29:49

[34] Q.s. al-Syûrâ/42:52

[35] Ilmu hikmah itu ialah ilmu yang tidak diketahui sebelumnya kecuali diajarkan Rasul bagaimana hubungan diri dengan Allah, hubungan diri dengan Muhammad, dan hubungan diri dengan Baitullah. Karena hanya rasul yang mengetahui oleh karena Rasul telah ada sebelum manusia ada maka manusia tidak dapat mengajarkannya.

[36] Ujung dari Q.s. al-Baqarah/2:151.

[37] Q.s. Âli Imrân/3:31

[38] Q.s. al-Nisâ`/4:80

[39] Hakikat agama yang hilang itu ialah hari ini tidak diketahui dan tidak dikabarkan tentang hakikat Baitullah, hakikat Muhammad, hakikat diri, hakikat siapa yang dipersaudarakan, dan hakikat siapa saudara kandung dalam agama.

[40] Q.s. al-Baqarah/2:132-134

[41] Q.s. al-Taghâbûn/64:2. Ketika sumber af’ậl itu terbajak oleh insận yaitu sifat hawa-nafsu-dunia-setan, maka dia menjadi kufur, dia disebut hati sanubari. Namun jika mengerti tempat berlindung yaitu di maqậm tauhȋd, maka dia dapat selamat dan tetap menjadi dirinya yang mukmin berperilaku sebagaimana sifat yang diwaqrisi dari Bapaknya yaitu shiddȋq-amanah-tablȋgh-fathanah, saat itu ia bernama hati nurani.

[42] Q.s.al-Dzâriyât: 11

[43] Sebut misalnya: Rupert C. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974 : 23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman; John Dewey : pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional sesama manusia; JJ. Rouseau : Pendidikan merupakan pemberian bekal kepada kita apa yang tidak kita butuhkan pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita butuhkan pada saat dewasa; M. J. Langeveld : Pendidikan merupkan setiap usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri; Menurut Langeveld pendidikan hanya berlangsung dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah dewasa (atau yang diciptakan orang dewasa seperti : sekolah, buku model dan sebagainya) dengan orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan; d. John S. Brubacher : Pendidikan merupakan proses timbal balik dari tiap individu manusia dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta; Kingsley Price mengemukakan: Education is the process by which the nonphysical possessions of culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults. (Pendidikan adalah proses yang berbentuk non pisik dari unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa);Mortimer J. Adler : pendidikan adalah proses dimana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik. 

[44] Akhlậq bentuk konkritnya adalah mukmin di dalam hati, sedang budi adalah panca indra yang ianya bias aktif berfungsi jika yang di dalam hati itu menfungsikannya. 

[45] Secara fisik diri itu berasal dari kedua ibu dan bapak sebagai media yang dari saripati tanah yang tersaring (Q.s. 86:5-7, 23: 12-14, 3:6). Itu disebut diri yang profan karena sesungguny tidak bisa apa tan diri yang sebenar diri, yaitu diri yang dari Tuhan (Q.s. 2:156) di mana bentuknya ialah ruh, iman, cahaya (Q.s. 32:9, 16:78, 42:52).

[46] Diri yang sebenar diri ialah dari Tuhan (Q.s. 2: 156), yaitu yang dari Nur Allah dengan itu kemudian diri ini disebut dengan nurnya Nur Allah. Nur Allah kemudian dikenal dengan nama Muhammad (non fisik), maka diri sebenar diri kemudian disebut nur Muhammad.

[47] Keduanya menjadi senyawa atau bisa berhubungan jika, terutama diri ini, kembali kepada posisi semula sebagai cahaya tidak dalam kegelapan (). Kembali semula itu harus dengan intervensi Tuhan di tempat yang di tentukan seperti keterangan Q.s. 8: 24, 7:43, 2:45. Rincian dan konkritnya tempat itu ialah seperti yang dijelaskan Q.s. 2:125, 3: 96-97 dan 2: 144-157. Tempat itu berhungan dengan kota Allah yaitu Baitullah, bukan fisik yang nerada di Makkah, tetapi non fisik berdimensi cahaya yang hanya bisa ditempuh oleh yang telah ma’rifat.

[48] Ini merupakan inspiring dari seorang Lukman yang menempatkan pengajaran iman di pendahuluan.

[49] Dalam bahasa al-Ghazali dikenal “man ‘arafa nafsahû faqad ‘arafa rabbahû”, siapa mengenal dirinya maka sesungguhnya telah mengenal Tuhannya. Dirinya siapa yang harus dikenal dalam rangka mengenal Tuhan? Sedang Mengenal Allag dengan Allah. Artinya untuk mengenal Allah harus mengenal wujud yang dengan Allah yakni Shifat yang diadakan (maujȗd). Mengenal Tuhan dengan Tuhan, ‘araftu rabbȋ bi rabbȋ. Tuhan (rabb) adalah Esanya Dzat dan Shifat (Allah yang wujud dan Shifat yang Maujȗd). Siapa wujud yang dengan Esanya Dzat dan Shifat artinya ianya bukan Shifat Dzat. Wujud diri yang dengan Tuhan itu ialah dzat, yang berdiri atas shifat Dzat, tak bercerai dengan Dzat. Wujud diri ini ditnjuk oleh teks Alquran Q.s. al-Mậidah/5:35, Allah berfirman: wahai si iman, bertaqwalah kepada Allah, tuntutlah wasilah (jalan) menuju dia (wujud shifat Dzat). Artinya wsilah itu bukan diri Shifat Dzat. Pembicaraan ini menuntut waktu tersendiri. Sebab jika tak ketemu dengan wasilah ini, tak kan ketemu dengan Muhammad (Shifat Dzat non fisik). Jika tak ketemu dengan Muhammad maka tak kan sampai kepada Allah.

[50] Q.s. lukmân/31: 13,15, 17-19. Item etika sosial ini ialah berbuat baik kepada orang tua hatta mereka berlainan akidah. Tidak congkak kepada sesama manusia, berupa berAjalan sederhana, dan bersuara yang lembut sopan santun.

[51] Bahwa jika membunuh manusia satu orang tanpa alasan syara’ sama dengan membunuh manusia seluruhnya, Q.s. 5:32

[52] Q.s. 2:213

[53] Yang shalat mukmin yakni diri yang telah kembali berderajat cahaya (Q.s. 23:1-3)

[55] Q.s. 7:43 dan di tempat itu mukmin yang shalat bertemu Tuhan (Q.s. 2: 46).

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *