Basa-Basi Pendidikan Agama untuk Anak Negeri

Suatu hari saya dapat kiriman video yang berisi rekaman acara di stasiun televisi. Ada delapan orang anak-anak muslim usia SMU, laki-laki dan perempuan, yang ditanya tentang rukun Islam. Ternyata, anak-anak itu tak bisa menjawab. Tersentak hati saya. Miris! Ini benar-benar memprihatinkan. Pada saat yang sama kita mendengar sejumlah tokoh yang mengusulkan agar pendidikan agama tidak perlu diajarkan lagi di sekolah. Tokoh itu salah satunya adalah Mr. Setyono Djuandi Darmono. Gagasannya itu bisa dilihat di situs www. jpnn.com berjudul: Pendidikan Agama Tidak Perlu Diajarkan di Sekolah. Bisa juga dilihat di situs fajar.co.id dengan judul: Sarankan Jokowi Hapus Pendidikan Agama. Darmono: Identitas Agama Picu Radikalisme, Kamis, (4/6/2019).

Dengan jam yang ada sekarang di sekolah dasar, menengah pertama dan menengah umum, yang perminggunya 2-3 jam pelajaran saja belum mampu melahirkan anak-anak yang mengerti soal agama dengan semua spirit akhlaknya. Apalagi jika pelajaran agama itu dihilangkan. Tidakkah agama adalah bagian penting dari inspirasi lahirnya Pancasila? Jika tak dipelajari, bagaimana orang mengerti agama. Jika tidak mengerti agama bagaimana bisa menjalankan Pancasila. Justru yang lahir adalah anak-anak bangsa yang akan berkhianat kepada Pancasila. Terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Wacana menghapus Pendidikan Agama dari sekolah boleh jadi karena pertama, tokoh ini tidak paham tentang agama. Memahami agama hanya dari fakta dan data kasuistik tentang penyimpangan dan penyalahgunaan agama. Ini sebuah kekeliruan yang besar. Atau karena faktor kedua, yaitu memang sengaja berupaya menjauhkan anak-anak Indonesia dari agama. Jika faktor kedua ini yang jadi motivasi, maka gagasan menghapus Pendidikan Agama adalah sebuah bentuk penghianatan kepada Pancasila.

Mohon maaf jika saya katakan bahwa sekarang ini terkesan kita sedang mengkhianati Pancasila. Khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab hanya pendidikan agama yang memuat ajaran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya agama yang memuat ajaran tentang Tuhan. Karena agama itu ajaran Tuhan. Hanya ajaran dari Tuhan yang mengenalkan Tuhan. Tidak mungkin manusia mengenal Tuhan tanpa guiden Tuhan melalui ajaran-Nya yang diterima dan disampaikan oleh para auliya’-anbiya’ sebagai utusan-Nya.

Nah, jam mata pelajaran saat ini sangat tidak memadai untuk itu. Ini sebenarnya sebab utama jika berbagai persoalan integritas bangsa saat ini mengemuka. Karena hati para anak bangsa tidak terurus. Oleh karena hukumnya sangat mutlak bahwa hanya agama yang bisa menjadi instrumen pembaikan hati manusia. Karena masalah hati (bukan liver) adalah masalah batin pada manusia. Dalam Islam, hanya Allah Swt yang dapat memperbaiki hati pada manusia (Qs. al-Anfal,8:24, al-A’râf/7:43).

Karena itu, mestinya wacana, pemikiran, gagasan, dan apapun namanya bukan malah untuk menghapus pendidikan agama di sekolah. Mestinya justru berpemikiran bagaimana jam pelajaran agama di sekolah saat ini ditambah. Saat ini di samping jam pelajaran agama sangat minim, mata pelajaran agama tidak masuk dalam mata pelajaran Ujian Nasional (UN).  Artinya agama dan pengetahuan agama saat ini sedang tidak menjadi indikator kualifikasi anak bangsa. Ini lebih membuat kita sangat miris. Jika agama adalah instrumen utama untuk membentuk anak bangsa ini berakhlak mulia, berkarakter baik, berkeadaban, maka saat ini dengan fakta minimnya kesempatan untuk belajar agama di sekolah karena jam pelajarannya sangat minim, itu artinya kita sedang menghambat, sedang menggagalkan semua ikhtiar untuk atau supaya anak bangsa ini berkarakter baik, supaya anak bangsa ini berakhlak mulia, supaya anak bangsa ini berkeadaban. Seolah kita digiring ke suatu ungkapan tanpa bahasa “yang penting anak didik pintar (indikator mata ujian nasional), persetan dengan mereka apakah beradab apa tidak, apakah berakhlak apa tidak, apakah berintegritas apa tidak.

Pelaksanaan terhadap UU No 20/3003 pasal 12 ayat (1) huruf a pun menurut saya hanya basa-basi dengan fakta jam pelajaran seperti terurai di atas, yaitu di sekolah non madrasah. Kesan basa-basi itu disignifikansi ialah tidak diikutkannya pendidikan agama dalam UN. Tetapi juga pengampu kebijajan pendidikan seperti tidak mau ambil tahu dengan probrematika pelaksanaan pendidikan agama yang jam pelajarannya minim itu.  

Untuk mensignifikansi kata “basa-basi” ini para pembaca bisa saya ajak menilik fakta bahwa 3 jam pelajaran (ini sudah saya ambil jam yang tertinggi, oleh karena bahkan ada yang 2 jam pelajaran) itu riilnya hanya 120 menit atau 2 jam saja. Karena rata-rata 1 jam pelajaran itu 40 menit (ini juga saya ambil yang tertinggi, karena faktanya jam pelajaran itu berkisar 35-40 menit). Artinya dalam seminggu anak kita mendapat pengetahuan agama hanya 2 jam (120 menit) saja. Dalam sebulan hanya 8 jam. Dalam setahun  hanya 96 jam. Jika anak kita dari SD- SMU selama 12 tahun, maka anak kita sampai usia 18 tahun mendapat pelajaran agama hanya 1.152 (seribu seratus limapuluh dua) jam. Itu artinya jika sehari itu 24 jam, maka dalam atau sampai usia 18 tahun, atau dalam belajar di bangku sekolah selama 12 tahun anak kita hanya belajar agama selama 48 (empat puluh delapan) hari. Itu pun minus bias yang terjadi di sana-sini dalam pelaksanaannya. Ini argumen saya bahwa pelaksanaan UU Sisdiknas Nomor 20/2003, khususnya pasal 12 ayat (1) huruf (a) hanya BASA-BASI. Kita berbasa-basi dalam menyelenggarakan pendidikan agama untuk anak bangsa ini. Turunannya, kita berbasa-basi hendak membentuk generasi dan bangsa yang berakhlak mulia, berkarakter, berintegritas, berkeadaban, dan seterusnya.

Tentu argumen ini berlaku bagi orang-orang yang memandang dan meyakini bahwa ajaran agama dan beragama itu penting dalam kehidupan. Sebaliknya bagi orang-orang yang berpandangan sebaliknya, justru jumlah jam dan hari untuk pendidikan agama seperti uraian      di atas dianggap kebanyakan bahkan harus dihapuskan.

Bagi kita yang masih punya idealitas untuk kebaikan bangsa ini, harus tidak diam dan tidak pasrah dengan kebijakan basa-basi pendidikan agama ini. Kita tidak boleh jumawah dengan konsep meremehkan Tuhan. Yang saya maksud meremehkan Tuhan ialah bahwa kita merasa mampu untuk mewujudkan atau membentuk bangsa berintegritas dengan konsep integritas menurut konsep manusia. Lalu kita kesampingkan konsep kebertuhanan. Izin saya sampaikan filosofi dasar dan agung dari diturunkannya ajaran beragama oleh Tuhan. Ialah sekiranya manusia bisa mendidik dirinya, sekiranya manusia bisa menemukan Tuhan, sekiranya manusia baik-baik saja dan tidak berangkara-murka, maka Tuhan tidak perlu dan tidak akan mengutus para auliyâ’-anbiyâ’ sebagai juru bicara Tuhan di permukaan bumi ini. Tetapi nyatanya pada setiap kurun-waktu, pada setiap tempat, dari masa kemasa manusia melakukan kerusakan       di permukaan bumi. Manusia melakukan kedurjanaan, manusia melakukan dan menebar angkara murka. Itu sebabnya, asbâb al-nuzulnya pada setiap umat diturunkan utusan Tuhan. Itu artinya manusia tidak boleh meremehkan Tuhan. Arti konkritnya, kita tidak boleh mengabaikan pendidikan agama untuk anak-anak kita.

Kalau boleh saya sampikan, bahwa kedurhakaan itu bermula dari persoalan integritas. Integritas itu urusan dalam hati. Urusan hati adalah urusan yang non material. Itu sebabnya untuk mewujudkan bangsa yang beintegritas tidak cukup hanya dengan memajukan kepintaran meterial. Yaitu kepintaran untuk kemampuan mengolah dan memanfaatkan teknologi, ekonomi, dan sosial-politik. Melainkan bahwa integritas harus dimulai dari tata-kelola hati pada manusia. Itu artinya harus ada intervensi Tuhan, Allah Swt (Qs. al-Anfâl/8:24, al-A’râf/7:43). Itu artinya hanya ajaran agama yang dapat memberikan tata cara bagaimana Allah dapat intervensi dalam ikhtiar perbaikan hati.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *